Mama
masih saja menangis bila teringat uang yang telah diambil oleh kakakku, Lisma.
Mama heran plus sedih melihat perubahan kakakku itu. Dulu, Teh Lisma baik dan
tidak berkuasa seperti itu. Tapi, setelah ayah meninggal, sikap Teh Lisma 1800 berubah. Selama ini, kami
berempat (mama, Mas Ario, Mas Rio, dan aku) tidak begitu menyadari perubahan
itu. Kami baru menyadari setelah salah seorang tetangga menjumpai mama dan
mengatakan bahwa Teh Lisma mengatakan bahwa selama ini, hidup kami, dia yang
menanggung. Dia menghidupi kami, dari hasil keringatnya sebagai guru private.
Mama hanya mengelus dada mendengar semua itu.
Kemarin,
mama dan Mas Ario pergi ke rumah kontrakan kami di Cakung. Mama berniat
mengambil uang kontrakan tapi alangkah terkejutnya mereka, uang kontrakan
selama satu tahun sudah diambil semua oleh Teh Lisma. Kebetulan di Cakung, mama
mempunyai dua puluh kontrakan dan semua uangnya sudah habis diambil Teh Lisma. Padahal,
uang itu untuk membiayai Mas Rio dan Mas Ario S2, sekolahku, dan untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah
kejadian itu, kami baru menyadari ada sesuatu yang telah berubah. Dulu kami
semua saling menyayangi dan mengasihi. Tidak ada seorangpun diantara kami
berempat yang merasa “paling” diantara yang lain. Mas Ario pun, kakak tertuaku,
tidak pernah bersikap sebagai penguasa. Awalnya aku berfikir, mungkin hanya aku
yang merasa takut bila berhadapan dengan Teh Lisma tapi ternyata ketika kami
semua dikumpulkan untuk membahas uang tersebut, tidak ada seorangpun yang mampu
membantah ucapannya bahkan mama sekalipun. Kami seperti orang bodoh yang siap
disetir olehnya. Dalam hati, kami menolak tapi entah kenapa kami semua
merasakan ketakutan ketika ingin menolaknya.
►◄
“Ma, apakah Mama sedang sibuk?”
“Tidak, kenapa Ario?” kata mama sambil memandang
wajah Ario.
‘Ma, Ario kan S2 sudah selesai,
pekerjaan, alhamdulillah sudah dapat. Dan Ario fikir, lebih baik Ario segera
menikah dan kebetulan Ario sudah punya calon yang ingin Ario perkenalkan kepada
Mama. Apakah Mama ada waktu untuk bertemu dengannya?”
“Tentu
saja ada, Ario. Bagaimana kalau kita adakan pertemuan itu, malam minggu besok. Kebetulan kita kan mau
merayakan ulang tahun Safna. Nanti kan semua keluarga kita undang jadi Kamu
bisa sekalian memperkenalkan sekaligus meminangnya.”
“Berarti
oragtuanya juga harus datang dong, Ma.”
“Pasti
dong sayang. Soal cincin, Kamu ga usah khawatir. Mama sudah sejak lama
mempersiapkannya untuk Kamu dan Rio. Untuk seserahan yang lain, nanti bisa kita
pakai uang dari kontrakan. Jadi, masalah uang, Kamu tidak perlu khawatir. Mama
hanya mampu membiayai sampai di situ saja. Untuk kehidupanmu nanti, itu sudah
menjadi tanggung jawabmu sebagai seorang suami.”
“Terima
kasih ya, Ma. Aku bangga sekali memiliki Mama. Aku janji akan menjadi suami
yang bertanggung jawab seperti ayah dulu.” Mas Ario lalu memeluk mama. Melihat
semua itu, aku sampai menitikkan air mata. Aku berharap apa yang Mas Ario
niatkan dimudahkan oleh Allah.
►◄
Hari
ini, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi aku, khususnya dan bagi
keluarga aku, umumnya. Tapi, tak ku sangka, justru hari ini adalah hari duka
yang mendalam bagi kami sekeluarga. Mas Ario yang rencananya akan melangsungkan
lamaran di saat pesta ulang tahunku, kini dia terbaring di ruang ICU. Mas Ario,
syok ketika mendengar semua kontrakan di Cakung telah terjual. Dan penjualnya
adalah adik kandungnya sendiri, Teh Lisma. Padahal kontrakan-kontrakan itu
adalah aset keluarga kami yang paling besar tapi kini, semua itu telah habis
terjual. Aku begitu sedih melihat mama terus duduk di samping Mas Ario. Mama
hanya shalat, membaca al-Quran, dan membaca shalawat untuk kesembuhan Mas Ario.
Aku tahu, hati mama pasti sakit dan sedih sekali melihat Teh Lisma seperti itu.
Tapi aku yakin, semarah-marahnya mama, mama tidak akan tega mengusir Teh Lisma
dari rumah.
►◄
Lima
hari lamanya Mas Ario di rumah sakit dan selama itu pula, tidak sekejap pun Mas
Ario membuka matanya. Kami bertiga kecuali Teh Lisma, berkumpul di samping Mas
Ario. Kami berharap, Mas Ario segera sadar. Ketika kami sedang membacakan surat
Yasin, tiba-tiba tangan Mas Ario bergerak perlahan-lahan dan subhanallah,
matanya pun terbuka perlahan-lahan. Kami lalu berdiri sambil memandang wajah
Mas Ario. Mas Ario akhirnya sadar dari komanya. Ketika kami sedang merasakan
kegembiraan, tiba-tiba Mas Ario mengucapkan kata ‘Maaf’ dan mengucapkan dua
kalimat syahadat dengan terbata-bata. Selesai mengucapkan dua kalimat syahadat,
mata Mas Ario terpejam kembali dan innalillahi wainna ilaihi roji’un, seluruh
tubuh Mas Ario berubah menjadi dingin. Wajahnya tampak tersenyum dan putih
bersih. Mama jatuh pingsan dan aku pun tak kuasa menahan tangis. Tak lama
kemudian, aku pun jatuh pingsan.
Ketika
siuman, aku melihat Mas Rio berada di sampingku. Sambil menangis, Mas Rio
membelai rambutku dan menciumi pipiku. Aku merasakan sesuatu yang lain telah
terjadi. Aku teringat mama lalu aku mencoba bangun dan memanggil mama.
“Mama...Mama...Mama...dimana
mama, Mas? Ayo jawab!!!!!
Kugucangkan
tubuh Mas Rio namun, dia tetaap membisu dan semakin kuguncangkan tubuhnya,
semakin kencang pula suara tangisnya. Melihat itu, aku semakin yakin, ada
sesuatu yang telah terjadi. Mas Rio lalu memelukku.
“Safna
mau ketemu mama, Mas, Safna mau ketemu..tolong kasih tahu Safna, dimana mama.”
“Sabar
sayang, nanti mas akan anter Kamu menemui mama tapi sekarang Kamu belum boleh
pulang. Kata dokter, besok Kamu baru boleh pulang jadi besok mas baru bisa
anter Kamu menemui mama. Sabar ya adik kecilku.”
“Tapi
mama tidak apa-apa kan, Mas?”
“Tidak adik kecilku.
Sekarang Kamu tidur ya. Mas akan temani Kamu, ya sayang.”
►◄
“Asyiiiik,
hari ini Safna sudah boleh pulangkan? Berarti Safna akan bertemu mama, du....h
senengnya.” Mas Rio hanya tersenyum mendengar ucapanku dan aku tidak perduli
dengan tingkahnya itu. Ketika kami sedang bersiap-siap, tiba-tiba pintu kamar
rumah sakit ada yang mengetuk. Itu pasti mama, fikirku. Aku langsung lari dan
membuka pintu sambil memanggil mama. Ketika pintu terbuka, aku tidak melihat
mama dan di hadapanku hanya ada seorang wanita cantik berjilbab biru dan
tampaknya aku mengenalnya. Setelah agak lama memandangnya, aku lalu berteriak
sambil memeluknya.
“Kak
Zahraaa........Safna kangeeeeeeeeen banget sama kakak. Ko, kakak tahu kalau
Safna sakit?”
Kak
Zahra hanya tersenyum sambil melirik Mas Rio. Mereka saling bertatapan. Aku senang
sekali melihat mereka seperti itu. Selama ini, aku selalu berdo’a agar Kak
Zahra dan Mas Rio dipersatukan menjadi suami istri. Awalnya, aku ingin
mengenalkan kepada Mas Ario tapi ternyata Mas Ari sudah punya jadi aku batal
mengenalkan Kak Zahra, kakak angkatku di tempat kuliah. Setelah itu, aku ingin
mengenalkan kepada Mas Rio tapi karena Mas Rio selalu cemberut bila kusebut
nama Kak Zahra, akhirnya aku tidak berani melanjutkan keinginanku. Aku hanya
berdo’a smoga mereka berjodoh. Dan hari ini, aku yakin, begitu melihat mereka
bertatapan, pasti mereka sudah pacaran. Dalam hati aku bersyukur karena do’aku
selama ini telah diijabah oleh Allah. Terima kasih Ya Allah.
Ketika
aku sedang tersenyum sendiri, tiba-tiba...
“Aw...sakit
tau...” kataku sambil cemberut ketika Mas Rio mencubitku.
“Mas
Rio dah jadian ya sama Kak Zahra? Ayo, ngaku....” dulu marah-marah kalau Safna
sebut nama Kak Zahra tapi ternyata dalam hati, suka. Kenapa ngga ngaku aja
si...cappe deh...plis deh ah...males deh ah....hhe...tapi Safna seneng ko
karena do’a Safna terkabul.”
“Siapa
yang pacaran? Kita berdua tidak pacaran tuh..” kata Mas Rio sambil menatap Kak
Zahra.
“Tapi
ko, Mas Rio dan Kak Zahra ada di sini bersamaan trus saling senyum-senyum gitu
deh. Jangan bohong dong, Mas!”
“Kita
memang tidak pacaran sayang...”
Aku
lalu terdiam dan cemberut. Ketika melihat aku seperti itu, Mas Rio dan Kak
Zahra saling bertatapan lalu..
“Kami
tidak pacaran tapi, kami sudah menjadi suami istri, hhehe...” terima kasih ya
adik kecilku, berat do’amu, kami dipertemukan.” Mas Rio lalu memelukku dan Kak
Zahra pun ikut memelukku. Walau kesal karena dibohongi tapi semua itu hilang
dengan berita yang baru aku dengar dari mulut mereka.
“sekarang
waktunya kita pulang, yuk! Kamu senangkan Safna?” Kata Kak Zahra
“Pasti
dong, Kak! Ada tiga hal yang membuat Safna senang hari ini. Pertama, Safna akan
keluar dari rumah sakit ini. Kedua, Mas Rio dan Kak Zahra telah berjodoh, dan
yang terakhir, ini yang paling penting, Safna akan bertemu mama. Nanti kalau
sudah bertemu, Safna akan peluk mama sampai rindu Safna ini hilang.”
Mas
Rio dan Kak Zahra hanya tersenyum dan mereka terdiam membisu.
►◄
Semenjak
keluar dari rumah sakit tadi, ada keanehan yang terjadi. Mas Rio tampak
menangis dan ketika aku tanya, beliau bilang matanya terkena kukunya yang
panjang. Sebenarnya aku tidak percaya tapi aku tidak mau memperpanjang masalah
itu. Aku terus memandangi jalan menuju rumahku. Rasanya, sudah lama aku melihat
semua jalan itu. Setelah agak lama melihat pemandangan, mataku terasa mengantuk
dan akhirnya aku tertidur di pangkuan Kak Zahra.
Ketika
sedang bermimpi indah, aku dibangunkan oleh Kak Zahra. Aku lalu bangun dan
melihat keadaan sekitar begitu asing bagiku. Ketika aku sedang memperhatikan
tempat tersebut, aku melihat ada bacaan di depan pintu masuk “TEMPAT PEMAKAMAN
UMUM”
Aku kaget dan aku langsung membuka pintu mobil dan
berlari masuk ke dalam TPU tersebut. Di sana, aku melihat-lihat kuburan yang
masih baru. Setelah lima belas menit, aku menemukan sebuah batu nisan bertuliskan
nama “ARIO PUTRA SASTRAWAN.” Itu nama Mas Ario, kakak pertamaku. Aku menangis
menatap makam tersebut. Ketika aku melihat ke sebelah kanan makam Mas Ario, aku
melihat ada batu nisan bertuliskan nama “FIRNA HARTONO SASTRAWAN” Aku terus
menatap nama itu. Antara percaya dan tidak, aku merasa itu adalah nama ibuku.
Dan jika benar, berarti...
“Kamu
benar, Safna. Itu adalah makam ibu. Ma’afkan kami berdua karena kami telah
membohongimu. Kami hanya tidak ingin Kamu jadi bertambah parah sakitnya.
Sekarang ini, kami hanya memiliki Kamu, Safna.” Kata Mas Rio sambil memelukku.
Aku
diam seribu bahasa. Aku tidak percaya dengan semua yang kuhadapi sekarang. Aku
hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Setelah aku mulai tenang, Mas Rio
menceritakan bahwa mama menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan
meninggalnya Mas Ario. Waktu itu, mama dan aku jatuh pingsan. Aku sempat koma
dan mama tidak sadarkan diri untuk selama-lamanya. Setelah bercerita panjang
lebar, Mas Rio mengajak aku untuk memanjatkan doa agar almarhumah mama dan
almarhum Mas Ario tenang di sana dan mendapatkan tempat yang paling mulia di
sisi-Nya. Amiin
►◄
Satu
bulan telah berlalu. Kini, aku tinggal hanya bertiga, Mas Rio, Kak Zahra, dan
aku. Teh Lisma? Aku tak tahu. Selama ini, aku belum berani menanyakan
keberadaan Teh Lisma. Mas Rio begitu marah ketika nama Teh Lisma disebut. Aku
tahu Mas Rio seperti itu karena memang semua musibah berawal dari Teh Lisma
jadi wajar jika Mas Rio menaruh benci yang mendalam seperti itu. Aku juga
sebenarnya menaruh kebencian kepada Teh Lisma tapi kebencian itu kini telah
hilang dan berganti dengan rasa kasihan. Kak Zahra selalu menasihati aku untuk
tidak menaruh dendam dengan siapa pun dan aku disuruh untuk bersyukur karena
sifat Teh Lisma tidak ada dalam diriku.aku beryukur, berkat kesabaran kak
Zahra, akhirnya aku bisa menerima semua musibah itu dengan ikhlas.
►◄
Ketika
aku sedang mengobrol dengan Firda, teman kuliahku, Kak Zahra menemuiku. Kami
lalu pulang bersama dan Kak Zahra mengajakku ke suatu tempat. Di tempat itu,
Kak Zahra memberitahukan keadaan Teh Lisma. Aku sedih sekali mendengarnya.
Sejahat apapun Teh Lisma, dia tetap kakakku. Kini, Teh Lisma sangat menderita
hidupnya. Dulu dia berubah seperti itu ternyata hanya gara-gara cowok yang
sangat dia cintai terus merongrong dirinya untuk memenuhi kebutuhan materinya.
Jika Teh Lisma tidak menuruti, ia akan ditinggalkan. Cinta memang buta. Demi
orang yang dia cintai, Teh Lisma mampu berbuat hal yang menyakiti hati
keluarga. Kini, menurut Kak Zahra, Teh Lisma tinggal bersama cowoknya itu dalam
stu rumah tanpa ikatan pernikahan dan yang membuat aku sedih, di rumah itu,
cowoknya selalu membawa cewek lain. Astaghfirullah. Andai saja aku bisa
menyakinkan Teh Lisma untuk meninggalkan cowok itu. Tapi kata Kak Zahra, Teh
Lisma seperti orang yang kena guna-guna. Tak ada sedikitpun penyesalan dalam
dirinya ketika tahu Kak Ario dan mama meninggal dunia. Ketika pemakaman pun,
Teh Lisma tidak hadir. Dari situlah, Mas Rio marah besar kepadanya.
Setelah
puas berbicara dengan Kak zahra, aku dan Kak Zahra pulang ke rumah tapi dengan
taksi yang berbeda. Kami khawatir, jika melihat kami pulang berdua, Mas Rio
jadi curiga.
Ketika
makan malam, aku tidak bisa menghilangkan fikiranku tentang Teh Lisma. Aku
ingin sekali bertemu dengannya. Siapa tahu, setelah bertemu dan berbicara empat mata dengannya, hatinya mulai
terbuka. Besok kebetulan libur dua hari dan saatnya aku melaksanakan niatku
ini. Aku berniat untuk meminta izin kepada Kak Zahra saja tapi setelah ku
pertimbangkan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat saja tanpa meminta
izin terlebih dahulu karena aku yakin, Kak zahra tidak berani memberikan izin
untukku.
Sebelum
tidur, aku tidak lupa memasang jam beker pukul 4.00. Biasanya Mas Rio dan Kak
Zahra selalu membangunkan aku pada pukul 05.00. aku ingin keluar rumah pukul
04.30. aku lalu mempersiapkan mukena untuk shalat subuh di Masjid.
►◄
Alhamdulillah,
semua rencanaku sampai saat ini lancar. Kini aku sudah berada di bis jurusan
Kampung Rambutan. Pukul 06.10 aku sudah sampai di Pasar Rebo. Aku lalu turun di
sana. Menurut Kak Zahra, Teh Lisma tinggal di sekitar situ. Rumahnya di dekat
sebuah Musholla. Dari jalan raya jalan ke arah kanan, lurus, lalu ada turunan.
Di sekitar situlah Teh Lisma tinggal. Aku lalu menelusuri jalan itu. Dan ketika
sudah sampai di dekat Mushalla, aku tidak melihat sebuah rumah yang berwarna
putih. Di dekat Mushalla ada gang kecil. Karena tidak ada orang, akhirnya aku
memutuskan untuk masuk ke gang tersebut. Feelingku benar. Rumah yang kucari ada
di belakang Mushalla. hampir semua rumah di situ tidak layak pakai tapi ada
satu rumah, bercat putih, walau kecil tapi terlihat masih baru. Aku yakin, Teh
Lisma tinggal di situ. Aku lalu mendekati rumah itu. Walau ada rasa takut dan
ragu, akhirnya aku memberanikan diri mengetuk rumah tersebut. Lima menit
kemudian, pintu rumah itu dibuka dan kulihat seorang laki-laki berwajah lumayan
ganteng, putih, menatapku heran. Dia lalu menanyakan tujuanku. Ketika aku
menyebut nama Teh Lisma, dia lalu tersenyum dan mengajakku untuk masuk ke dalam
rumahnya. Awalnya aku tidak mau tapi karena dia mengatakan bahwa Teh Lisma
sedang sakit dan tidak bisa bangun, akhirnya aku masuk ke dalam. Dia lalu
mengajakku ke kamar untuk melihat teh Lisma.
Di
dalam, aku tidak melihat Teh Lisma. aku mulai curiga. Ketika aku sadar telah
dibohongi, aku berniat untuk keluar dari kamar tersebut. Tapi, tiba-tiba laki-laki
itu memegang tanganku dengan kasar. Aku berontak tapi tenaga orang itu kuat
sekali. Aku lalu didorong ke atas ranjang. Aku terjatuh. Orang itu lalu berniat
memperkosaku. Ketika orang itu ingin melaksanakan niatnya, Mas Rio memukul
kepalanya dari belakang. Dia pingsan seketika. Aku lalu memeluk Kak Zahra dan
menangis sekencang-kencangnya.
Aku berterima kasih kepada Mas Rio dan
Kak Zahra karena telah menyelamatkan diriku dari niat jahat orang tersebut di
saat yag tepat. Waktu itu, aku fikir Mas Rio dan Kak Zahra tidak tahu tentang
kepergianku tapi ternyata, Mas Rio sudah memperhatikan gelagatku sejak makan
malam. Mereka lalu mengikutiku dari rumah sampai tempat tersebut. Aku juga bersyukur kepada Allah,
karena-Nyalah diri ini bisa selamat.
Setelah
diinterogasi disertai pukulan dari Mas Rio, akhirnya laki-laki itu
memberitahukan keberadaan Teh Lisma. setelah mendapat informasi tersebut,
laki-laki itu dibawa ke kantor polisi dan ditahan untuk jangka waktu yang
panjang.
Dengan
bantuan polisi, kami menyusuri tempat yang telah disebutkan oleh laki-laki tersebut.
Tempatnya seperti di hutan. Begitu seram dan tidak ada seorangpun manusia yang
kujumpai di tempat ini. Setelah berjam-jam menyusuri jalan tersebut, akhirnya,
kami menemukan sebuah gubug. Tampaknya tidak berpenghuni karena pintunya
terbuka dan tidak ada suara orang. Kami lalu masuk dan kami tidak menemukan
siapa-siapa di dalam. Mas Rio menyangka laki-laki itu telah membohonginya tapi
entah kenapa aku yakin Teh Lisma ada di tempat itu. Mataku terus mencari
keberadaan Teh Lisma. Ketika kami sudah merasa lelah mencari dan tidak
menemukan Teh Lisma, akhirnya Mas Rio dan Pak Polisi sepakat untuk menghentikan
pencarian. Mendengar itu, aku lalu berlari kebelakang gubug untuk memastikan
keberadaan Teh Lisma sekali lagi. Tanpa sengaja, kakiku menginjak sebuah papan
yang tertutup dedaunan. Aku merasa aneh sepertinya ada sesuatu di balik papan
tersebut lalu tergelitik untuk memeriksa papan tersebut. Setelah aku singkirkan
dedaunan yang ada di atasnya, aku temukan pada ujung papan tersebut seperti ada
sebuah pegangan untuk membuka papan itu. Aku lalu mengangkat pegangan tersebut
dan alangkah terkejutnya diriku melihat sesosok tubuh di dalam lubang yang
tertutup papan tadi. Hatiku berkecamuk, siapakah gerangan sesosok mayat di
hadapanku ini?????? Aku seperti mengenali sosok tersebut, dan aku berharap, itu
bukan Teh Lisma. kemudian aku beranikan diri untuk mendongakkan wajah mayat
tersebut dan aku syok begitu melihat wajah di hadapanku.....
Aku
terduduk lemas kemudian menjerit histeris begitu menyadari kalau mayat itu
adalah Teh Lisma. Mendengar jeritanku, Mas Ario dan polisi berlari ke arahku.
Mereka sama terkejutnya denganku. Polisi kemudian berusaha mengangkat mayat Teh
Lisma yag diperkirakan sudah berada di lubang tersebut selama kurang lebih tiga
hari dan mulai membusuk.
Wajahnya
tampak begitu menderita. Di bagian kepala tampak bekas hantaman benda tajam.
Kami lalu membawa jasad Teh Lisma untuk diotopsi. Setelah otopsi dilakukan,
pihak polisi menyerahkan jenazah kepada kami lalu kami menguburkannya.
Ketika kami ingin mengangkat jenazah,
terjadi keganjilan. Jasadnya tidak bisa diangkat. Setelah tiga kali gagal,
akhirnya Pak Kyai Fathullah meminta Mas Rio untuk membawa laki-laki itu. Mas
Rio bertambah sedih karena ia tahu akan sangat sulit membawa tersangka pembunuhan
adiknya. Tanpa disangka-sangka, dari kejauhan terdengar sirine polisi, ternyata
Muzadi, kekasih sekaligus pembunuh adiknya datang dengan dikawal beberapa
polisi. Ia ternyata datang untuk melihat
jenajah teh lisma untuk terakhir kali. Begitu melihat jasad Teh Lisma, laki-laki
itu menangis menyatakan penyesalan terdalmnya dan tanpa sadar mengakui telah
membunuh Teh Lisma karena dia kesal, Teh Lisma tidak bisa memberikan kemewahan
lagi untuk dirinya. Pak kyai lalu meminta laki-laki itu untuk mengangkat jasad
Teh Lisma. Subhanallah, jasad itu bisa diangkat dengan mudah. Laki-laki itu
lalu menurunkan jasad Teh Lisma dan ketika jasad Teh Lisma sudah diturunkan,
tiba-tiba keranda yang membawa jasad Teh Lisma terbang dan memukul kepala
laki-laki itu dengan keras. Semua itu terjadi sampai berkali-kali. Lalu
laki-laki itu terjatuh dan mati seketika. Melihat kejadian itu, kami
beristighfar memohon ampunan untuk Teh Lisma dan laki-laki itu. Akhirnya,
dengan do’a yang tulus dari orang yang hadir, dua jasad tadi dapat dimakamkan
setelah beberapa kali mengalami kesulitan.
Setelah
pemakaman Teh Lisma, aku berdo’a semoga dosa-dosa Teh Lisma diampuni dan
diberikan surga untuknya. Aku juga bersyukur telah dibukakan hatiku untuk
melihat bahwa setiap perbuatan pasti ada balasnya. Dan sungguh balasan Allah
itu benar-benar nyata.
Teh
Lisma, sungguh malangnya perjalanan hidupmu. Karena cinta, kau seperti itu.
Karena cinta, kau menjadi sengsara. Dan karena cinta, hidupmu penuh penyesalan.
►◄
0 komentar:
Posting Komentar