inilah aku

inilah aku
garut

Rabu, 02 Mei 2012

CERPEN KARENA CINTA


            Mama masih saja menangis bila teringat uang yang telah diambil oleh kakakku, Lisma. Mama heran plus sedih melihat perubahan kakakku itu. Dulu, Teh Lisma baik dan tidak berkuasa seperti itu. Tapi, setelah ayah meninggal, sikap Teh Lisma 1800 berubah. Selama ini, kami berempat (mama, Mas Ario, Mas Rio, dan aku) tidak begitu menyadari perubahan itu. Kami baru menyadari setelah salah seorang tetangga menjumpai mama dan mengatakan bahwa Teh Lisma mengatakan bahwa selama ini, hidup kami, dia yang menanggung. Dia menghidupi kami, dari hasil keringatnya sebagai guru private. Mama hanya mengelus dada mendengar semua itu.
            Kemarin, mama dan Mas Ario pergi ke rumah kontrakan kami di Cakung. Mama berniat mengambil uang kontrakan tapi alangkah terkejutnya mereka, uang kontrakan selama satu tahun sudah diambil semua oleh Teh Lisma. Kebetulan di Cakung, mama mempunyai dua puluh kontrakan dan semua uangnya sudah habis diambil Teh Lisma. Padahal, uang itu untuk membiayai Mas Rio dan Mas Ario S2,  sekolahku, dan untuk kebutuhan sehari-hari.
            Setelah kejadian itu, kami baru menyadari ada sesuatu yang telah berubah. Dulu kami semua saling menyayangi dan mengasihi. Tidak ada seorangpun diantara kami berempat yang merasa “paling” diantara yang lain. Mas Ario pun, kakak tertuaku, tidak pernah bersikap sebagai penguasa. Awalnya aku berfikir, mungkin hanya aku yang merasa takut bila berhadapan dengan Teh Lisma tapi ternyata ketika kami semua dikumpulkan untuk membahas uang tersebut, tidak ada seorangpun yang mampu membantah ucapannya bahkan mama sekalipun. Kami seperti orang bodoh yang siap disetir olehnya. Dalam hati, kami menolak tapi entah kenapa kami semua merasakan ketakutan ketika ingin menolaknya.
►◄
“Ma, apakah Mama sedang sibuk?”
“Tidak, kenapa Ario?” kata mama sambil memandang wajah Ario.
‘Ma, Ario kan S2 sudah selesai, pekerjaan, alhamdulillah sudah dapat. Dan Ario fikir, lebih baik Ario segera menikah dan kebetulan Ario sudah punya calon yang ingin Ario perkenalkan kepada Mama. Apakah Mama ada waktu untuk bertemu dengannya?”
            “Tentu saja ada, Ario. Bagaimana kalau kita adakan pertemuan itu,  malam minggu besok. Kebetulan kita kan mau merayakan ulang tahun Safna. Nanti kan semua keluarga kita undang jadi Kamu bisa sekalian memperkenalkan sekaligus meminangnya.”
            “Berarti oragtuanya juga harus datang dong, Ma.”
            “Pasti dong sayang. Soal cincin, Kamu ga usah khawatir. Mama sudah sejak lama mempersiapkannya untuk Kamu dan Rio. Untuk seserahan yang lain, nanti bisa kita pakai uang dari kontrakan. Jadi, masalah uang, Kamu tidak perlu khawatir. Mama hanya mampu membiayai sampai di situ saja. Untuk kehidupanmu nanti, itu sudah menjadi tanggung jawabmu sebagai seorang suami.”
            “Terima kasih ya, Ma. Aku bangga sekali memiliki Mama. Aku janji akan menjadi suami yang bertanggung jawab seperti ayah dulu.” Mas Ario lalu memeluk mama. Melihat semua itu, aku sampai menitikkan air mata. Aku berharap apa yang Mas Ario niatkan dimudahkan oleh Allah.
►◄
            Hari ini, seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi aku, khususnya dan bagi keluarga aku, umumnya. Tapi, tak ku sangka, justru hari ini adalah hari duka yang mendalam bagi kami sekeluarga. Mas Ario yang rencananya akan melangsungkan lamaran di saat pesta ulang tahunku, kini dia terbaring di ruang ICU. Mas Ario, syok ketika mendengar semua kontrakan di Cakung telah terjual. Dan penjualnya adalah adik kandungnya sendiri, Teh Lisma. Padahal kontrakan-kontrakan itu adalah aset keluarga kami yang paling besar tapi kini, semua itu telah habis terjual. Aku begitu sedih melihat mama terus duduk di samping Mas Ario. Mama hanya shalat, membaca al-Quran, dan membaca shalawat untuk kesembuhan Mas Ario. Aku tahu, hati mama pasti sakit dan sedih sekali melihat Teh Lisma seperti itu. Tapi aku yakin, semarah-marahnya mama, mama tidak akan tega mengusir Teh Lisma dari rumah.
►◄
            Lima hari lamanya Mas Ario di rumah sakit dan selama itu pula, tidak sekejap pun Mas Ario membuka matanya. Kami bertiga kecuali Teh Lisma, berkumpul di samping Mas Ario. Kami berharap, Mas Ario segera sadar. Ketika kami sedang membacakan surat Yasin, tiba-tiba tangan Mas Ario bergerak perlahan-lahan dan subhanallah, matanya pun terbuka perlahan-lahan. Kami lalu berdiri sambil memandang wajah Mas Ario. Mas Ario akhirnya sadar dari komanya. Ketika kami sedang merasakan kegembiraan, tiba-tiba Mas Ario mengucapkan kata ‘Maaf’ dan mengucapkan dua kalimat syahadat dengan terbata-bata. Selesai mengucapkan dua kalimat syahadat, mata Mas Ario terpejam kembali dan innalillahi wainna ilaihi roji’un, seluruh tubuh Mas Ario berubah menjadi dingin. Wajahnya tampak tersenyum dan putih bersih. Mama jatuh pingsan dan aku pun tak kuasa menahan tangis. Tak lama kemudian, aku pun jatuh pingsan.
            Ketika siuman, aku melihat Mas Rio berada di sampingku. Sambil menangis, Mas Rio membelai rambutku dan menciumi pipiku. Aku merasakan sesuatu yang lain telah terjadi. Aku teringat mama lalu aku mencoba bangun dan memanggil mama.
            “Mama...Mama...Mama...dimana mama, Mas? Ayo jawab!!!!!
            Kugucangkan tubuh Mas Rio namun, dia tetaap membisu dan semakin kuguncangkan tubuhnya, semakin kencang pula suara tangisnya. Melihat itu, aku semakin yakin, ada sesuatu yang telah terjadi. Mas Rio lalu memelukku.
            “Safna mau ketemu mama, Mas, Safna mau ketemu..tolong kasih tahu Safna, dimana mama.”
            “Sabar sayang, nanti mas akan anter Kamu menemui mama tapi sekarang Kamu belum boleh pulang. Kata dokter, besok Kamu baru boleh pulang jadi besok mas baru bisa anter Kamu menemui mama. Sabar ya adik kecilku.”
            “Tapi mama tidak apa-apa kan, Mas?”
            “Tidak adik kecilku. Sekarang Kamu tidur ya. Mas akan temani Kamu, ya sayang.”
►◄
            “Asyiiiik, hari ini Safna sudah boleh pulangkan? Berarti Safna akan bertemu mama, du....h senengnya.” Mas Rio hanya tersenyum mendengar ucapanku dan aku tidak perduli dengan tingkahnya itu. Ketika kami sedang bersiap-siap, tiba-tiba pintu kamar rumah sakit ada yang mengetuk. Itu pasti mama, fikirku. Aku langsung lari dan membuka pintu sambil memanggil mama. Ketika pintu terbuka, aku tidak melihat mama dan di hadapanku hanya ada seorang wanita cantik berjilbab biru dan tampaknya aku mengenalnya. Setelah agak lama memandangnya, aku lalu berteriak sambil memeluknya.
            “Kak Zahraaa........Safna kangeeeeeeeeen banget sama kakak. Ko, kakak tahu kalau Safna sakit?”
            Kak Zahra hanya tersenyum sambil melirik Mas Rio. Mereka saling bertatapan. Aku senang sekali melihat mereka seperti itu. Selama ini, aku selalu berdo’a agar Kak Zahra dan Mas Rio dipersatukan menjadi suami istri. Awalnya, aku ingin mengenalkan kepada Mas Ario tapi ternyata Mas Ari sudah punya jadi aku batal mengenalkan Kak Zahra, kakak angkatku di tempat kuliah. Setelah itu, aku ingin mengenalkan kepada Mas Rio tapi karena Mas Rio selalu cemberut bila kusebut nama Kak Zahra, akhirnya aku tidak berani melanjutkan keinginanku. Aku hanya berdo’a smoga mereka berjodoh. Dan hari ini, aku yakin, begitu melihat mereka bertatapan, pasti mereka sudah pacaran. Dalam hati aku bersyukur karena do’aku selama ini telah diijabah oleh Allah. Terima kasih Ya Allah.
            Ketika aku sedang tersenyum sendiri, tiba-tiba...
            “Aw...sakit tau...” kataku sambil cemberut ketika Mas Rio mencubitku.
            “Mas Rio dah jadian ya sama Kak Zahra? Ayo, ngaku....” dulu marah-marah kalau Safna sebut nama Kak Zahra tapi ternyata dalam hati, suka. Kenapa ngga ngaku aja si...cappe deh...plis deh ah...males deh ah....hhe...tapi Safna seneng ko karena do’a Safna terkabul.”
            “Siapa yang pacaran? Kita berdua tidak pacaran tuh..” kata Mas Rio sambil menatap Kak Zahra.
            “Tapi ko, Mas Rio dan Kak Zahra ada di sini bersamaan trus saling senyum-senyum gitu deh. Jangan bohong dong, Mas!”
            “Kita memang tidak pacaran sayang...”
            Aku lalu terdiam dan cemberut. Ketika melihat aku seperti itu, Mas Rio dan Kak Zahra saling bertatapan lalu..
            “Kami tidak pacaran tapi, kami sudah menjadi suami istri, hhehe...” terima kasih ya adik kecilku, berat do’amu, kami dipertemukan.” Mas Rio lalu memelukku dan Kak Zahra pun ikut memelukku. Walau kesal karena dibohongi tapi semua itu hilang dengan berita yang baru aku dengar dari mulut mereka.
            “sekarang waktunya kita pulang, yuk! Kamu senangkan Safna?” Kata Kak Zahra
            “Pasti dong, Kak! Ada tiga hal yang membuat Safna senang hari ini. Pertama, Safna akan keluar dari rumah sakit ini. Kedua, Mas Rio dan Kak Zahra telah berjodoh, dan yang terakhir, ini yang paling penting, Safna akan bertemu mama. Nanti kalau sudah bertemu, Safna akan peluk mama sampai rindu Safna ini hilang.”
            Mas Rio dan Kak Zahra hanya tersenyum dan mereka terdiam membisu.
►◄
            Semenjak keluar dari rumah sakit tadi, ada keanehan yang terjadi. Mas Rio tampak menangis dan ketika aku tanya, beliau bilang matanya terkena kukunya yang panjang. Sebenarnya aku tidak percaya tapi aku tidak mau memperpanjang masalah itu. Aku terus memandangi jalan menuju rumahku. Rasanya, sudah lama aku melihat semua jalan itu. Setelah agak lama melihat pemandangan, mataku terasa mengantuk dan akhirnya aku tertidur di pangkuan Kak Zahra.
            Ketika sedang bermimpi indah, aku dibangunkan oleh Kak Zahra. Aku lalu bangun dan melihat keadaan sekitar begitu asing bagiku. Ketika aku sedang memperhatikan tempat tersebut, aku melihat ada bacaan di depan pintu masuk “TEMPAT PEMAKAMAN UMUM”
Aku kaget dan aku langsung membuka pintu mobil dan berlari masuk ke dalam TPU tersebut. Di sana, aku melihat-lihat kuburan yang masih baru. Setelah lima belas menit, aku menemukan sebuah batu nisan bertuliskan nama “ARIO PUTRA SASTRAWAN.” Itu nama Mas Ario, kakak pertamaku. Aku menangis menatap makam tersebut. Ketika aku melihat ke sebelah kanan makam Mas Ario, aku melihat ada batu nisan bertuliskan nama “FIRNA HARTONO SASTRAWAN” Aku terus menatap nama itu. Antara percaya dan tidak, aku merasa itu adalah nama ibuku. Dan jika benar, berarti...
            “Kamu benar, Safna. Itu adalah makam ibu. Ma’afkan kami berdua karena kami telah membohongimu. Kami hanya tidak ingin Kamu jadi bertambah parah sakitnya. Sekarang ini, kami hanya memiliki Kamu, Safna.” Kata Mas Rio sambil memelukku.
            Aku diam seribu bahasa. Aku tidak percaya dengan semua yang kuhadapi sekarang. Aku hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Setelah aku mulai tenang, Mas Rio menceritakan bahwa mama menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan meninggalnya Mas Ario. Waktu itu, mama dan aku jatuh pingsan. Aku sempat koma dan mama tidak sadarkan diri untuk selama-lamanya. Setelah bercerita panjang lebar, Mas Rio mengajak aku untuk memanjatkan doa agar almarhumah mama dan almarhum Mas Ario tenang di sana dan mendapatkan tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amiin
      ►◄
            Satu bulan telah berlalu. Kini, aku tinggal hanya bertiga, Mas Rio, Kak Zahra, dan aku. Teh Lisma? Aku tak tahu. Selama ini, aku belum berani menanyakan keberadaan Teh Lisma. Mas Rio begitu marah ketika nama Teh Lisma disebut. Aku tahu Mas Rio seperti itu karena memang semua musibah berawal dari Teh Lisma jadi wajar jika Mas Rio menaruh benci yang mendalam seperti itu. Aku juga sebenarnya menaruh kebencian kepada Teh Lisma tapi kebencian itu kini telah hilang dan berganti dengan rasa kasihan. Kak Zahra selalu menasihati aku untuk tidak menaruh dendam dengan siapa pun dan aku disuruh untuk bersyukur karena sifat Teh Lisma tidak ada dalam diriku.aku beryukur, berkat kesabaran kak Zahra, akhirnya aku bisa menerima semua musibah itu dengan ikhlas.
►◄
            Ketika aku sedang mengobrol dengan Firda, teman kuliahku, Kak Zahra menemuiku. Kami lalu pulang bersama dan Kak Zahra mengajakku ke suatu tempat. Di tempat itu, Kak Zahra memberitahukan keadaan Teh Lisma. Aku sedih sekali mendengarnya. Sejahat apapun Teh Lisma, dia tetap kakakku. Kini, Teh Lisma sangat menderita hidupnya. Dulu dia berubah seperti itu ternyata hanya gara-gara cowok yang sangat dia cintai terus merongrong dirinya untuk memenuhi kebutuhan materinya. Jika Teh Lisma tidak menuruti, ia akan ditinggalkan. Cinta memang buta. Demi orang yang dia cintai, Teh Lisma mampu berbuat hal yang menyakiti hati keluarga. Kini, menurut Kak Zahra, Teh Lisma tinggal bersama cowoknya itu dalam stu rumah tanpa ikatan pernikahan dan yang membuat aku sedih, di rumah itu, cowoknya selalu membawa cewek lain. Astaghfirullah. Andai saja aku bisa menyakinkan Teh Lisma untuk meninggalkan cowok itu. Tapi kata Kak Zahra, Teh Lisma seperti orang yang kena guna-guna. Tak ada sedikitpun penyesalan dalam dirinya ketika tahu Kak Ario dan mama meninggal dunia. Ketika pemakaman pun, Teh Lisma tidak hadir. Dari situlah, Mas Rio marah besar kepadanya.
            Setelah puas berbicara dengan Kak zahra, aku dan Kak Zahra pulang ke rumah tapi dengan taksi yang berbeda. Kami khawatir, jika melihat kami pulang berdua, Mas Rio jadi curiga.
            Ketika makan malam, aku tidak bisa menghilangkan fikiranku tentang Teh Lisma. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Siapa tahu, setelah bertemu dan  berbicara empat mata dengannya, hatinya mulai terbuka. Besok kebetulan libur dua hari dan saatnya aku melaksanakan niatku ini. Aku berniat untuk meminta izin kepada Kak Zahra saja tapi setelah ku pertimbangkan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat saja tanpa meminta izin terlebih dahulu karena aku yakin, Kak zahra tidak berani memberikan izin untukku.
            Sebelum tidur, aku tidak lupa memasang jam beker pukul 4.00. Biasanya Mas Rio dan Kak Zahra selalu membangunkan aku pada pukul 05.00. aku ingin keluar rumah pukul 04.30. aku lalu mempersiapkan mukena untuk shalat subuh di Masjid.
►◄
            Alhamdulillah, semua rencanaku sampai saat ini lancar. Kini aku sudah berada di bis jurusan Kampung Rambutan. Pukul 06.10 aku sudah sampai di Pasar Rebo. Aku lalu turun di sana. Menurut Kak Zahra, Teh Lisma tinggal di sekitar situ. Rumahnya di dekat sebuah Musholla. Dari jalan raya jalan ke arah kanan, lurus, lalu ada turunan. Di sekitar situlah Teh Lisma tinggal. Aku lalu menelusuri jalan itu. Dan ketika sudah sampai di dekat Mushalla, aku tidak melihat sebuah rumah yang berwarna putih. Di dekat Mushalla ada gang kecil. Karena tidak ada orang, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke gang tersebut. Feelingku benar. Rumah yang kucari ada di belakang Mushalla. hampir semua rumah di situ tidak layak pakai tapi ada satu rumah, bercat putih, walau kecil tapi terlihat masih baru. Aku yakin, Teh Lisma tinggal di situ. Aku lalu mendekati rumah itu. Walau ada rasa takut dan ragu, akhirnya aku memberanikan diri mengetuk rumah tersebut. Lima menit kemudian, pintu rumah itu dibuka dan kulihat seorang laki-laki berwajah lumayan ganteng, putih, menatapku heran. Dia lalu menanyakan tujuanku. Ketika aku menyebut nama Teh Lisma, dia lalu tersenyum dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Awalnya aku tidak mau tapi karena dia mengatakan bahwa Teh Lisma sedang sakit dan tidak bisa bangun, akhirnya aku masuk ke dalam. Dia lalu mengajakku ke kamar untuk melihat teh Lisma.
            Di dalam, aku tidak melihat Teh Lisma. aku mulai curiga. Ketika aku sadar telah dibohongi, aku berniat untuk keluar dari kamar tersebut. Tapi, tiba-tiba laki-laki itu memegang tanganku dengan kasar. Aku berontak tapi tenaga orang itu kuat sekali. Aku lalu didorong ke atas ranjang. Aku terjatuh. Orang itu lalu berniat memperkosaku. Ketika orang itu ingin melaksanakan niatnya, Mas Rio memukul kepalanya dari belakang. Dia pingsan seketika. Aku lalu memeluk Kak Zahra dan menangis sekencang-kencangnya.
Aku berterima kasih kepada Mas Rio dan Kak Zahra karena telah menyelamatkan diriku dari niat jahat orang tersebut di saat yag tepat. Waktu itu, aku fikir Mas Rio dan Kak Zahra tidak tahu tentang kepergianku tapi ternyata, Mas Rio sudah memperhatikan gelagatku sejak makan malam. Mereka lalu mengikutiku dari rumah sampai tempat tersebut.  Aku juga bersyukur kepada Allah, karena-Nyalah diri ini bisa selamat.
            Setelah diinterogasi disertai pukulan dari Mas Rio, akhirnya laki-laki itu memberitahukan keberadaan Teh Lisma. setelah mendapat informasi tersebut, laki-laki itu dibawa ke kantor polisi dan ditahan untuk jangka waktu yang panjang.
            Dengan bantuan polisi, kami menyusuri tempat yang telah disebutkan oleh laki-laki tersebut. Tempatnya seperti di hutan. Begitu seram dan tidak ada seorangpun manusia yang kujumpai di tempat ini. Setelah berjam-jam menyusuri jalan tersebut, akhirnya, kami menemukan sebuah gubug. Tampaknya tidak berpenghuni karena pintunya terbuka dan tidak ada suara orang. Kami lalu masuk dan kami tidak menemukan siapa-siapa di dalam. Mas Rio menyangka laki-laki itu telah membohonginya tapi entah kenapa aku yakin Teh Lisma ada di tempat itu. Mataku terus mencari keberadaan Teh Lisma. Ketika kami sudah merasa lelah mencari dan tidak menemukan Teh Lisma, akhirnya Mas Rio dan Pak Polisi sepakat untuk menghentikan pencarian. Mendengar itu, aku lalu berlari kebelakang gubug untuk memastikan keberadaan Teh Lisma sekali lagi. Tanpa sengaja, kakiku menginjak sebuah papan yang tertutup dedaunan. Aku merasa aneh sepertinya ada sesuatu di balik papan tersebut lalu tergelitik untuk memeriksa papan tersebut. Setelah aku singkirkan dedaunan yang ada di atasnya, aku temukan pada ujung papan tersebut seperti ada sebuah pegangan untuk membuka papan itu. Aku lalu mengangkat pegangan tersebut dan alangkah terkejutnya diriku melihat sesosok tubuh di dalam lubang yang tertutup papan tadi. Hatiku berkecamuk, siapakah gerangan sesosok mayat di hadapanku ini?????? Aku seperti mengenali sosok tersebut, dan aku berharap, itu bukan Teh Lisma. kemudian aku beranikan diri untuk mendongakkan wajah mayat tersebut dan aku syok begitu melihat wajah di hadapanku.....
            Aku terduduk lemas kemudian menjerit histeris begitu menyadari kalau mayat itu adalah Teh Lisma. Mendengar jeritanku, Mas Ario dan polisi berlari ke arahku. Mereka sama terkejutnya denganku. Polisi kemudian berusaha mengangkat mayat Teh Lisma yag diperkirakan sudah berada di lubang tersebut selama kurang lebih tiga hari dan mulai membusuk.

            Wajahnya tampak begitu menderita. Di bagian kepala tampak bekas hantaman benda tajam. Kami lalu membawa jasad Teh Lisma untuk diotopsi. Setelah otopsi dilakukan, pihak polisi menyerahkan jenazah kepada kami lalu kami menguburkannya.
Ketika kami ingin mengangkat jenazah, terjadi keganjilan. Jasadnya tidak bisa diangkat. Setelah tiga kali gagal, akhirnya Pak Kyai Fathullah meminta Mas Rio untuk membawa laki-laki itu. Mas Rio bertambah sedih karena ia tahu akan sangat sulit membawa tersangka pembunuhan adiknya. Tanpa disangka-sangka, dari kejauhan terdengar sirine polisi, ternyata Muzadi, kekasih sekaligus pembunuh adiknya datang dengan dikawal beberapa polisi.  Ia ternyata datang untuk melihat jenajah teh lisma untuk terakhir kali. Begitu melihat jasad Teh Lisma, laki-laki itu menangis menyatakan penyesalan terdalmnya dan tanpa sadar mengakui telah membunuh Teh Lisma karena dia kesal, Teh Lisma tidak bisa memberikan kemewahan lagi untuk dirinya. Pak kyai lalu meminta laki-laki itu untuk mengangkat jasad Teh Lisma. Subhanallah, jasad itu bisa diangkat dengan mudah. Laki-laki itu lalu menurunkan jasad Teh Lisma dan ketika jasad Teh Lisma sudah diturunkan, tiba-tiba keranda yang membawa jasad Teh Lisma terbang dan memukul kepala laki-laki itu dengan keras. Semua itu terjadi sampai berkali-kali. Lalu laki-laki itu terjatuh dan mati seketika. Melihat kejadian itu, kami beristighfar memohon ampunan untuk Teh Lisma dan laki-laki itu. Akhirnya, dengan do’a yang tulus dari orang yang hadir, dua jasad tadi dapat dimakamkan setelah beberapa kali mengalami kesulitan.
            Setelah pemakaman Teh Lisma, aku berdo’a semoga dosa-dosa Teh Lisma diampuni dan diberikan surga untuknya. Aku juga bersyukur telah dibukakan hatiku untuk melihat bahwa setiap perbuatan pasti ada balasnya. Dan sungguh balasan Allah itu benar-benar nyata.
            Teh Lisma, sungguh malangnya perjalanan hidupmu. Karena cinta, kau seperti itu. Karena cinta, kau menjadi sengsara. Dan karena cinta, hidupmu penuh penyesalan.
      ►◄

0 komentar:

Posting Komentar