Setelah satu semester, aku meminta
anak-anak untuk memberikan penilaian terhadap diriku. Tak ku sangka dari sekian
banyak anak, ada dua anak yang sangat benci dengan aku. Anak pertama,
jelas-jelas mengatakan bahwa dia tidak suka dengan aku karena aku jutek, sombong dan egois. Anak kedua mengatakan
bahwa aku ini mirip nenek lampir karena terlalu sering menasihati dan sering
marah-marah.
Ku
akui waktu pertama datang, aku memang seperti itu. Mungkin karena waktu itu, aku
tidak mempersilakan mereka maju untuk perkenalan, membuat ia merasa aku ini
sombong, jutek, dan egois. Dan kalau aku dibilang suka marah dan suka
menasihati itu memang benar. Walau sakit hati, tapi aku mencoba untuk mengerti.
Inilah risiko yang harus ku hadapi jika aku meminta penilaian kepada anak-anak.
Tapi sakit hatiku terobati ketika melihat lebih banyak anak-anak yang
menyukaiku. Itu kutahu dari penilaian yang mereka berikan padaku.
Setelah
KBM saya selesai di sekolah itu. Kebetulan siangnya saya tidak ada jadwal jadi
hari ini saya langsung pulang. Di rumah saya terus memikirkan bagaimanan
caranya mendekati siswa dan membuat mereka menyukai saya. karena saya yakin,
jika mereka sudah suka, sesulit apapun pelajaran, mereka akan semangat belajar
dan semoga pelajaran yang mereka terima pun akan cepat masuk ke otak.
Di
malam hari, aku bangun, aku terus menangis karena terus terang, rasa sakit
hatiku belum hilang. Kata-kata mereka bagiku sangat menyakitkan. Aku terus menangis sambil memohon agar orang-orang
yang membenci hatinya berubah menjadi
kebalikannya dan aku juga mohon agar selalu diberikan kemudahan, kesabaran, dan
solusi untuk mengatasi masalah yang kuhadapi.
Esoknya,
aku membahas tentang penilaian yang sudah mereka berikan. Pertama aku berterima
kasih atas penilaian positif mereka dan aku juga tidak lupa meminta ma’af
kepada dua anak yang sudah memberikan kritik tajam kepadaku. Aku memberitahukan
isi surat itu kepada anak-anak di kelas.
“Siapa
orangnya, Bu? Kok, tidak sopan banget si?” tanya Gunawan dengan nada emosi dan
yang lain pun memaksa aku untuk memberitahukan siapa pengirim dua surat itu.
“Dari
tulisannya, saya sudah tahu bahwa itu dari dua siswi tapi saya tidak mau
menyebutkan namanya. Itu memang kritik yang sangat pedas tapi saya yakin, dua anak
itu tidak bermaksud buruk tetapi sebaliknya. Mereka begitu menyayangi saya
tetapi dengan cara yang berbeda dengan kalian. Jadi, semua masukan kalian akan
saya jadikan acuan untuk memperbaiki diri. Mohon maaf atas semua salah yang
pernah saya lakukan. Dan saya berharap, jika suatu saat nanti ada perbuatan
atau perkataan saya yang kurang berkenan silakan kalian beritahu saya dan
alangkah indahnya jika pemberitahuan itu dengan menggunakan bahasa yang lebih
halus.” Kataku dengan berlinang air mata tapi alhamdulillah, aku tidak sampai
menangis.
Mendengar
ucapanku, anak-anak terdiam dan ada yang sangat kesal dengan dua temannya itu.
Ketika anak-anak masih ramai mengira-ngira siapa yang aku maksud, tiba-tiba
Rani maju.
“Ma’afin
saya Bu, saya yang menulis surat itu.” Kata Rani sambil menunduk dan dia lalu
mencium tanganku. Aku langsung merangkulnya sambil tersenyum aku berkata
“Tidak
apa-apa sayang, tujuan Kamu baik ko walaupun bahasa yang Kamu pakai kurang enak
untuk dibaca tapi saya senang karena Kamu punya keberanian untuk mengritik dan
yang lebih hebat lagi, Kamu mau mengakui semua itu. Terima kasih ya atas
semuanya. “ kataku sambil terus merangkul
Ketika
Rani menangis di pelukanku, Vega maju dan melakukan hal yang sama. Aku sangat
bangga karena mereka mempunyai mental yang kuat, mereka mau mengakui kesalahan
dan tidak memerdulikan teman-teman yang akan membenci mereka.
“Anak-anak,
sekarang kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga yaitu apapun yang
sudah kita lakukan, harus kita pertanggungjawabkan sebesar apapun risikonya.
Dan saya harap, mari kita saling mema’afkan dan mulai saat ini, janganlah kita
menilai seseorang hanya dari pertemuan pertama. Jika kita ingin mengenal s
eseorang dengan baik, butuh waktu panjang. Dan saya harap, apa yang Vega dan
Rani fikirkan tentang saya, suatu saat nanti akan berbalik. Terima kasih ya
kalian sudah mengakui semuanya. Kalian adalah murid-murid hebat! Saya bangga
dengan kalian.” Kataku sambil mengelus kepala Rani dan Vega.
Setelah
mendengar ucapanku, anak-anak langsung bertepuk tangan bahkan ada yang
menangsi. Aku juga tidak bisa menahan
air mataku. Untuk mengganti suasana sedih saat ini, aku lalu melepaskan
rangkulan di bahu Rani dan Vega. Mereka ku persilakan untuk duduk lalu aku berdiri
sambil membawa kotak berisi sedotan yang di dalamnya ada kertas.
“Anak-anak, sekarang kita bermain sambung kata
yuk! Siapa yang tidak bisa melanjutkan, dia akan terkena sanksi yaitu memilih
kertas yang ada di dalam sedotan ini.” Kataku sambil menunjukan beberapa
sedotan yang di dalamnya ada kertas.
“Isi
kertas itu apa Bu?” tanya Ega
“Mmmm...kasih
tahu ga ya? Hhehhe...” udah langsung main aja kalau dikasih tahu, nanti ngga
seru.” Kataku sambil tertawa.
Anak-anak
menyetujui itu dan permainan pun dimulai. Peraturan di permainan itu adalah
tidak boleh menggunakan bahasa jorok, kasar, atau tidak sopan. Mereka sangat
menikmati permainan itu dan pas di Yogi, kata terputus. Yogi tidak bisa
melanjutkan kata yang diberikan Tono. Akhirnya, dia mengambil satu kertas dan
ternyata isinya adalah bernyanyi lagu balonku dengan huruf vokal ‘i’ semua dan
dengan memperagakannya. Aku lalu mengambil balon di depan kelas. Lalu Yogi
membawa balon sambil bernyanyi. Lucu plus seru banget.
Saat itu, bukan hanya Rio yang mendapatkan
sanksi. Ada beberapa anak juga mendapatkannya. Mereka mendapatkan sanksi yang
berbeda-beda. Ada yang membaca puisi sambil mengekspresikan apa yang ada di
dalam puisi tersebut. Pokoknya seru-seru deh dan yang pasti sanksinya berkaitan
dengan bahasa Indonesia. Tujuan aku melakukan permainan hanya untuk mendekatkan
diri kepada anak-anak sekaligus menunjukan aku tidak seperti yang mereka
bayangkan.
Dan
mulai hari ini, aku juga mencoba untuk mengobrol santai ketika istirahat. Aku
berharap mereka akan dekat dan menyukai aku. Aku tahu, semua itu tidak bisa
terjadi cepat. Butuh kesabaran dan keseriusan. Walau aku mengorbankan jam istirahatku, aku
tidak peduli. Saat itu aku begitu yakin bahwa caraku ini suatu saat akan
behasil.
Setelah hampir satu
bulan lebih, usahaku membuahkan hasil dan bukan hanya itu, aku juga dijadikan
tempat curhat bagi mereka. Terima kasih
ya Allah. Semua itu tidak akan terjadi tanpa turut campur tangan-Mu.
0 komentar:
Posting Komentar